oleh Lady Sion (27 Mei 2020)
A. Latar Belakang
Cina merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat pertumbuhan perekonomian yang pesat. Tentunya pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut telah melalui proses panjang sejak zaman kekaisaran dan didukung oleh peranan setiap individu masyarakat Cina itu sendiri. Dalam masyarakat Cina, terdapat filosofi Guanxi yang memiliki peran unik dan penting dalam kehidupan sehari-hari, rutinitas kerja, serta komunikasi interpersonal. Konsep Guanxi telah diperkenalkan di akhir tahun 1970. Sejak saat itu Guanxi menjadi daya tarik di bidang sosiologi, ilmu organisasi, psikologi, etika, manajemen, dan lain sebagainya.
Latar belakang budaya Guanxi berawal ketika zaman dahulu jarang sekali ada orang Tionghoa yang terlantar. Sebab jika dari antara mereka ada yang terlantar, adalah datang dari wilayah lain, ataupun seorang anak menjadi yatim piatu karena orang tuanya wafat kemudian orang Tionghoa lain selalu datang menolong. Lalu dilihat marganya, jika dia marga Tan, akan dibawa dan diserahkan kepada orang marga Tan lagi. Jika berasal dari marga yang jarang, misalnya marga Ting sementara di daerah itu tak ada marga Ting, maka akan ditanya kampung leluhurnya. Kalau dia datang dari Kabupaten Nam’oa, ia akan dibawa kepada orang sekampungnya dan akan diterima dengan baik, apalagi kalau ada orang sama kampungnya, langsung dianggap keluarga. Jika satu desa atau wilayah itu pun tidak ada maka dilihat dialeknya. Orang Hokkian akan dibawa ke Hokkian Huekuan (Persatuan Orang Hokkian), orang Hakka akan dibawa ke perkumpulan orang Hakka dsb. Mereka biasanya ditanggung ramai-ramai oleh teman sedialek, biaya ditanggung bersama, ada yang memberi tempat tinggal bahkan ada yang memberi pekerjaan, dan lain sebagainya (Yu, 2012).
Maka umumnya ada sesuatu bidang yang khas dari suku-suku Tionghoa seperti orang Konghu yang pasti tukang kayu, kalau orang Hakka atau Khe adalah pedagang kelontong, orang Hubei membuka toko optik, orang Hing Hwa mayoritas berjualan sepeda, orang Hokchnia adalah pengusaha pabrik tenun, orang Hokkian adalah petani atau nelayan. Ini disebabkan mereka dididik di bidangnya dan sesuai kelompoknya. Misalnya yang tadinya petani murni, dikerjakan di perusahaan kayu, lalu menjadi ahli, setelah itu ia dibantu untuk bisa berdikari jadi tukang kayu lagi (Yu, 2012).
Persatuan yang demikian solid dan kuat telah menyebabkan orang Tionghoa tidak ada yang terlantar. Kalau waktu itu kita lihat ada orang terlantar, pasti orang yang tidak jujur, menipu atau mencuri. Sekali curang, orang tak mau mengakuinya lagi, dan ia akan terkucil dari masyarakat Tionghoa (Yu, 2012). Oleh karena itu, timbul istilah Guanxi (baca kuansi) yang berarti koneksi atau suatu jaringan hubungan di antara bermacam-macam personal, kelompok, dan badan usaha yang saling bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Hal tersebut memang lebih nampak di bisnis-bisnis warga Tionghoa baik di negara asalnya maupun yang bermukim di perantauan (Kurnia, 2016). Guanxi semakin tampak ketika rezim komunis di Beijing melakukan beberapa terobosan di bidang industri. Prinsip Guanxi berdampingan 2 elemen budaya bisnis Tionghoa yang lain yaitu Xinyong yang berarti kepercayaan dan Ganqing yang berarti menjaga perasaan.
B. Penerapan Budaya Guanxi di Perusahaan Indonesia
Keberadaan taipan Cina perantauan di Indonesia dengan berbagai unit bisnis mereka telah menjadi kekuatan ekonomi yang penting bagi negara Indonesia. Adanya penerapan budaya Guanxi dalam sektor bisnis mereka merupakan dasar dari permulaan terbentuknya jalinan bisnis yang akan membantu perkembangan bisnis tersebut. Selain mendasarkan pada prinsip Guanxi, sistem bisnis mereka juga mendasarkan pada prinsip Xinyong yakni menekankan kepercayaan sebagai dasar utama untuk menjalankan bisnis dan Ganqing yakni menghormati dan menjaga ikatan perasaan. Hal ini terbukti saat terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan sebuah toko terbakar habis dan dijarah. Setelah kondisi telah stabil toko itu akan dibuka kembali namun sang pemilik mengalami kesulitan modal akibat kehancuran dari tokonya maka saat itu semua toko milik Cina peranakan di kawasan Glodok turut membantu dengan meminjamkan barangnya untuk dijual oleh pemilik toko yang terbakar tersebut tanpa bunga atau dengan bunga rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Ann Wan Seng bahwa orang Cina di seluruh dunia telah membentuk sebuah jaringan bisnis yang saling membantu (Seng, 2007).
Awal mula para pedagang Cina berbisnis di Indonesia telah dimulai sejak zaman kerajaan. Menurut sejarah, di era Sriwijaya pedagang Cina telah menjadi rival pedagang pribumi, lalu mereka berasimilasi dan beranak cucu dengan penduduk setempat hingga terus berkembang sampai sekarang. Lalu di zaman kependudukan bangsa Eropa di Indonesia, pedagang etnis Cina menjadi perantara bagi orang Eropa dalam perdagangan rempah-rempah yang dicari bangsa Eropa. Salah satu taipan Cina paling menonjol di era kependudukan Belanda saat itu adalah Oei Tiong Ham yang diakui sebagai pengusaha berkelas multinasional pertama di Asia Tenggara. Usaha dimilikinya berada di bawah naungan Oei Tiong Ham Concern (OTHC) yang memiliki cabang di Singapura, Malaysia, hingga Eropa dan Amerika Serikat bahkan terus berdiri hingga dinasionalisasi oleh orde lama. Usaha yang dimilikinya berkembang sejak mendapat hak monopoli perdagangan dan produksi gula dari VOC. Saat harga gula sedang menurun di pasar dunia, dia membeli hak pengusahaan gula dan memonopoli produksi hingga distribusi gula di Jawa. Ketika harga mulai normal, dunia bisnis gula kembali dikuasai Oei Tiong Ham dan berhasil mendapatkan keuntungan yang sangat besar bahkan kemudian membeli hak penjualan candu dari keluarga kelas atas Cina di masa itu dan memperoleh keuntungan lebih besar lagi. Dengan koneksinya yang luas di luar negeri dapat berhasil mengekspor gula ke berbagai negara hingga Inggris dan keuntungan bersih yang berhasil diraih pada periode 1880–1904 adalah sebesar 18 juta gulden. Melalui sistem manajemen profesional dikombinasikan dengan implementasi dari prinsip Guanxi yakni keluasan jaringan mulai dari perkenalan, pergaulannya yang sangat luas dengan berbagai pihak di penjuru dunia menjadikan usaha yang dimiliki Oei Tiong Ham berkembang pesat di masanya (Ling, 2013).
Di masa sekarang kita mengenal salah satu jaringan bisnis Tionghoa bernama Grup Salim yang didirikan oleh Liem Sioe Liong alias Soedono Salim. Tanpa dipelopori Soedono Salim, keluarga Liem mungkin hanya akan menjadi pengusaha kretek di Kudus yang berskala biasa. Dalam bisnisnya, Liem juga menggunakan pendekatan prinsip Guanxi. Karir bisnisnya bermula sebagai tukang kredit di daerah Kudus bersama Tan Ho Tjung, rekan bisnisnya yang sama-sama berasal dari Futching (Fujian). Usahanya mengalami pailit dan berakhir saat pendudukan Jepang bersamaan dengan dilarangnya usaha kredit di era pendudukan Jepang. Akibat dari pergolakan tersebut Sioe Liong mengalami kerugian terbesar dalam bisnisnya.
Namun di awal kemerdekaan Indonesia, mulai ada tanda kebangkitan bisnis Sioe Liong. Diawali dari pertemuannya dengan tamu salah satu tokoh besar bangsa yang disembunyikan dari pihak Belanda ke Chung Hua Tsung Hui bernama Hassan Din selaku ayah Fatmawati dan mertua Bung Karno. Hassan Din selama di sana dipercayakan pada Sioe Liong lalu terjalin koneksi sebagai bagian implementasi Guanxi yang sukses dibangun oleh Sioe Liong dengan penguasa Orde Lama. Berkat kejadian tersebut Liem berhasil memenuhi pesanan untuk memenuhi kebutuhan tentara berupa logistik, sandang, bahkan senjata. Liem juga turut menyuplai cengkeh ke industri rokok di Kudus. Jika terjadi kekurangan cengkeh di dalam negeri maka didatangkan cengkeh dari Singapura, Madagaskar, dan Zanzibar. Hal tersebut tentunya tak lepas dari adanya hubungan Liem yang luas dengan tentara dan bantuan modal dari rekan-rekannya sehingga impor cengkeh tersebut berhasil mendatangkan keuntungan besar di usahanya.
Di masa tersebut, kebutuhan logistik Divisi Diponegoro dipenuhi oleh Sioe Liong. Selain itu Liem juga mengimpor pakaian murah dari Shanghai yang kemudian dikembangkan menjadi usaha PT Muliatex yang didirikan bersama dengan pengusaha tekstil dari Shanghai tersebut. Selain perusahaan tersebut, Liem juga menjalankan PT Indara Mas (usaha pembuatan ban sepeda), PT Indara Kencana (pabrik paku), PT Indara Makmur dan PT Setiawan (pembuatan baju), sebuah pabrik sabun. Liem juga mengelola tambang timah dengan nama Indako Ltd dan bekerja sama dengan pihak Australia.
Pondasi usahanya yang kokoh di masa Orde Lama ini semakin bersinar terang pada Orde Baru. Monopoli pertama yang diberikan adalah cengkeh kepada PT Mega sekaligus PT Mercu Buana milik Probosutedjo pada 1968. Kiprahnya diteruskan dengan mendirikan PT. Bogasari Flour Mills, yang diberikan monopoli untuk pemasaran di wilayah barat Indonesia dan untuk bagian timur monopoli diberikan pada PT. Prima dari Singapura. Selain itu, juga mendirikan PT Waringin di Singapura bergerak dalam bidang perdagangan dan keuangan, kala itu menjadi perusahaan terbesar di Asia Tenggara yang melakukan aktivitas dalam perbankan, perkapalan, ekspor-impor, dan lain-lain. Di tahun tujuh puluhan, dengan bertumpu pada tiga usaha di atas, Liem mendirikan lagi sebuah usaha yang berkelas dunia yaitu PT Indonesia Distinct Cement (Indocement).
Liem Sioe Liong juga mendirikan berbagai perusahaan lain seperti pabrik tekstil PT Purbaya dan PT Tarumatex di Bandung. Di bidang real estate, Liem membangun Pakuwon (Jakarta Barat) dan Pondok Indah (Jakarta Selatan). Kawasan Pakuwon dibangunnya bersama koneksinya dari Kudus Tan Loa Moy, sementara Pondok Indah dibangunnya bersama dengan Ir. Ciputra. Liem Sioe Liong juga melakukan perakitan mobil Volvo dan juga mendirikan Hotel Mandarin dan night club Blue Ocean. Pada akhir 70-an dan awal 80-an, Liem kelihatan sedikit mengendorkan gebrakan-gebrakannya dengan hanya melakukan beberapa perluasan, misalnya PT Indohero dan PT Indomobil Utama yang merakit motor dan mobil Suzuki. Menyusul di tahun 1980-an Liem bersama PT Sanmaru mengakuisi PT Sarimi Asli Jaya yang adalah cikal bakal dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Selain itu, Liem juga mendirikan night club The Palace, berseberangan dengan Blue Ocean, bersama dengan Tan Tju Hin (Hendra Raharja).
Dalam berbagai bisnisnya ada hubungan kerjasama yang erat antara Liem, Sudwikatmono, Djuhar Sutanto, dan Ibrahim Risjad yang dikenal sebagai The Gang of Four. Mereka berempat mulai berkongsi pada 1969 pada pendirian CV Waringin Kentjana, dan diteruskan dengan pendirian PT Bogasari hingga kemudian pembangunan Pondok Indah dan BSD. Dengan lima jenis usaha itu, Liem Sioe Liong mendapat julukan ”Lima Raja” (raja cengkeh, raja terigu, raja dagang,raja semen dan raja uang). Lima bidang usaha ini telah dimilikinya sejak tahun1970-an.
Embrio usaha terbesar Liem Sioe Liong adalah Bank Central Asia (BCA) yang didirikan pada 1956. Bermula dari berdirinya Bank Windu Kentjana pada 1954. Usaha pada bidang perbankan ini tidak berkembang hingga pada 1957 sehingga didirikan bank kedua Liem yakni NV Bank Asia pada 12 Oktober 1956. Nama ini kemudian berubah menjadi Central Bank Asia pada 13 Februari 1957 dan Bank Central Asia pada 1960. Kiprah kebesaran dan kemajuan BCA tidak dapat dilepaskan dari Liem Sioe Liong dan Mochtar Riady alias Lie Moe Tie adalah seorang Cina peranakan asal Malang yang juga baru saja mundur dari jabatannya di Panin Bank, bank swasta terbesar di Indonesia pada saat itu. Berkat bantuan dari Mochtar Riady, BCA berhasil menjadi bank kesembilan terbesar pada akhir 1980-an. Salah satu pertimbangan Mochtar bergabung dengan BCA adalah karena selama di Panin Bank ada politik intern yang membuat Mochtar sulit untuk mengembangkan profesionalismenya serta tidak betah akibat perselisihan dengan pemegang saham lainnya yang masih berkerabat dengannya yaitu Mu’min Ali Gunawan (Lie Moe Ming) dan Gunadi Gunawan (Lie Mo Kwang). Pertemuan yang tak disengaja dalam sebuah perjalanan dengan pesawat menuju Hongkong tersebut terjadi perjanjian yang ketat antara Mochtar Riady dengan Liem, yang tidak memiliki hubungan keluarga bahkan koneksi sebelumnya.
Selain saham 17,5% dan gaji yang tinggi, Mochtar meminta manajemen BCA tak terikat dengan ekspansi bisnis Liem. Sehingga bebas untuk berkembang dan berdiversifikasi selama Mochtar beserta dewan yang dikepalai Liem menilainya dengan baik. BCA juga bebas untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang telah dibangun oleh Liem. Sistem yang dibentuk dalam BCA ini merupakan perpaduan antara sistem profesionalitas Barat yang dianut Mochtar dengan sistem Guanxi yang telah diterapkan oleh Liem.
Manajemen dalam BCA adalah kreativitas dari Mochtar, juga bisa menolak memberikan bantuan kredit bagi ekspansi Liem bila ada kerja sama yang diajukan kurang baik. Dengan sistem ini ada hubungan yang profesional dibentuk oleh kedua belah pihak yakni Liem sebagai pemilik dan Mochtar sebagai manajemen. Cara yang digunakan oleh Mochtar dalam mengembangkan BCA yakni dengan merebut pasar terlebih dahulu. Adanya modal besar dari Liem, BCA membuka cabang di mana-mana. Saat Mochtar masuk di Maret 1975, BCA masih memiliki dua kantor cabang. Namun pada Agustus 1988 telah mencapai 49 kantor cabang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, sekaligus membuka kembali 20 cabang baru untuk mencakup retail banking yang menjadi sasarannya. Nilai aset BCA juga meningkat dari Rp 12,8 milyar hingga menjadi Rp 1,542,1 trilyun, dengan jumlah investasi yang dikeluarkan oleh Liem sebesar Rp 5,25 trilyun pada 1987. Nilai aset yang hampir dua kali lipat dari Bank Mega, bank swasta terbesar kedua diIndonesia pada saat itu, yang hanya mencapai Rp 785,7 milyar. Dapat dilihat bahwa perpaduan kedua sistem yakni sistem manajemen profesional dan implementasi Guanxi yang ada dalam BCA telah mampu menjadikan salah satu bank swasta di Indonesia yang berkembang sangat pesat hingga saat ini.
Dalam bisnisnya terdapat empat tipe Guanxi yang diimplementasikan Liem, antara lain :
1. Guanxi pertama dalam kehidupan bisnis Liem bermula dari lingkungan bisnis bersama keluarganya. Usaha pertama yang digelutinya tidak lepas dari bantuan pamannya dan kakaknya yang telah mendahului berada di Kudus. Dengan pondasi ekonomi yang telah dibangun dengan kerabatnya, Liem Sioe Liong memiliki batu pijakan untuk memulai usahanya. Hubungan kepercayaan (Xinyong) paling mudah untuk dibentuk dan dibina serta merupakan ikatan yang paling mendasar sebab berasal dari keluarga serta tentunya marga sama. Praktik Guanxi dalam keluarga ini ternyata juga diteruskan dalam berbagai usahanya kelak.
2. Guanxi kedua melalui koneksi dengan rekan-rekan serta sahabat-sahabatnya yang terpercaya. Mereka adalah Tan Ho Tjung (temannya di Kudus yang menjadi rekannya yang pertama), lalu Gang of Four (Sudwikatmono, Djuhar Susanto,Liem Sioe Liong dan Ibrahim Risjad), dan Mochtar Riadi yang membangun berbagai kerajaan bisnis dengannya. Ini sulit untuk dibangun begitu saja, karena membutuhkan waktu lama untuk membangun Xinyong yang kuat namun cukup mudah untuk ditemukan. Antar pihak-pihak yang bekerja sama belum tentu memiliki kesamaan marga sehingga mungkin paling sulit untuk dibentuk, karena guanxi ini tidak memiliki dasar sebab hanya berdasarkan hubungan yang dibentuk sekian lama, baik dalam bentuk persahabatan ataupun kerja sama, bahkan seringkali ditemukan toko yang memberi harga khusus karena sang pembeli adalah langganan di toko itu. Guanxi dan Xinyong yang muncul di sini berdasarkan waktu. Ada potensi konflik karena minimnya rasa hormat antar pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut. Maka dari itu, jenis hubungan bisnis yang seperti ini, membutuhkan kepercayaan yang sangat mendalam dari semua pihak. Untuk menjalin hubungan yang demikian tidak bisa dilakukan dengan waktu yang sedikit. Itu sebabnya para pengusaha etnis Cina menjalin hubungan yang sangat lama atau membutuhkan latar belakang yang sama untuk bisa dipercaya. Bisnis yang dilakukan melalui kerja sama dengan teman atau rekanan, harus dilengkapi juga dengan hukum yang menjamin perjanjian. Dengan kata lain, perjanjian itu didasarkan pada hukum dan bukan dasar saling percaya yang kuat. Dalam hal ini tidak dapat hanya mengandalkan praktik Guanxi dasar saja namun juga sistem secara profesional dengan bantuan pihak luar.
3. Guanxi yang ketiga adalah dengan sesama rekan Futching Hui. Guanxi ini dibangun atas dasar tongcun (kampung leluhur) yang sama dan lebih mudah untuk dibangun daripada praktik Guanxi kedua. Guanxi ini dibentuk antara orang-orang yang memiliki kesamaan latar belakang atau asal-usul untuk dapat saling bekerja sama. Dalam perkumpulan orang Cina perantauan, Guanxi yang terbentuk adalah pada tingkatan tong. Berbagai hal bermula dari perkumpulan ini baik rekan bisnis, bantuan relasi, jasa yang membantu perkembangan Liem, misalnya saja dengan mengenalkan Liem dengan Hassan Din, yang kemudian membawanya pada Soeharto yang selaku komandan di Kodam Diponegoro. Guanxi ini jauh lebih mudah dibentuk karena didasarkan atas dasar kesamaan asal atau kampung halaman. Sehingga membawa orang-orang yang tergabung di dalamnya untuk berjuang bersama. Namun di sisi lain ada peraturan ketat dalam perkumpulan semacam ini yang berdampak pada kesulitan dalam penerimaan orang baru kecuali mendapat pengantar dan persetujuan dari orang dalam.
4. Guanxi yang keempat adalah koneksi yang dimilikinya dengan pemerintahan Republik Indonesia. Ini sangatlah penting sebab bagaimana Liem memiliki koneksi baik dengan pemerintah yang dapat mempengaruhi bisnisnya. Indonesia memiliki potensi alam yang besar tentunya hal ini juga mendukung terciptanya peningkatan ekonomi, namun pengusaha pribumi di masa awal mula perkembangan bisnis Liem belumlah banyak serta tidak berkembang. Hal tersebut akibat dari pola kehidupan pemerintahan di masa Hindia Belanda yang kurang memprioritaskan potensi pribumi untuk menjadi pedagang dan pengusaha yang baik. Sehingga pengusaha Cina keturunan mengambil alih dan memaksimalkan potensi yang dimiliki negara pada saat itu. Dalam menjalankan sistemnya, tentu sangat diperlukan konsesi, monopoli, dan kemudahan untuk diberikan kepada para pengusaha etnis Cina. Hingga kemudian dengan berbagai kemudahan tersebut mereka menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia sekaligus membesarkan bisnis hingga ke level internasional seperti yang telah dibangun oleh Liem.
Harga saham milik Grup Salim pada perdagangan semakin menguat di bulan Desember tahun 2019 dan pemiliknya kembali tercatat masuk 10 besar orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan riset Majalah Forbes, Anthoni Salim, tercatat sebagai orang terkaya nomor enam di Indonesia. Nilai kekayaan Anthoni Salim tercatat mencapai US$ 5,5 miliar atau setara Rp 76,99 triliun (Saragih, 2019).
C. Penyimpangan Guanxi dalam Budaya Cina
Meskipun implementasi Guanxi memberikan banyak keuntungan terhadap bisnis, namun dalam praktiknya tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai penyimpangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang bergabung Mochtar Riady untuk mendirikan BCA, ternyata dilatarbelakangi dari perselisihan intern dengan pemegang saham di bank tersebut yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya sehingga memilih mundur dari Panin Bank yang telah membesarkan karirnya dan menggabungkan diri bersama Liem mendirikan BCA. Hal tersebut menunjukkan bahwa bisnis yang dikelola secara Guanxi dengan keluarga juga memiliki kecenderungan rawan konflik dibandingkan dengan sistem manajemen profesional ala Barat yang bersifat rasional dan pragmatis. Bersama dengan Liem, Mochtar mengelola BCA dengan cara sistem profesional dan juga digaji dengan bayaran profesional. Dengan masuknya Mochtar, sistem Guanxi yang dijalankan oleh Liem menjadi berangsur hilang.
Dalam beberapa hal, sistem Guanxi dianggap kurang baik secara etika bisnis. Seperti dalam bisnis Liem yang sebelumnya memiliki kedekatan erat dengan pemerintah Orba di kala itu yang memungkinkan adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Menurut Deeje, dkk (2008) dalam buku yang berjudul 10 Orang Terkaya di Indonesia, memaparkan bahwa dalam pengembangan Guanxi dengan pemerintah maka wajib bagi pengusaha memberikan parsel dan hadiah setiap hari raya dan itu adalah hal yang lumrah. Sebagai imbalannya, Liem menerima berbagai insentif. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai upaya suap terhadap pemerintah yang bersangkutan. Contohnya di Bogasari pada tahun 1990, telah dicatat bahwa mereka menerima sebesar US$ 400 juta yang didapat berkat harga subsidi beli gandum murah seharga US$ 80 juta per ton dari Bulog. Gandum tersebut diolah menjadi tepung terigu yang dijual kembali kepada Bulog dengan marjin keuntungan 30% (Deeje, 2008) . Lambat laun sistem manajemen profesionalitas ala Barat dan ekspansi ke luar negeri dipilih oleh Liem untuk menjaga bisnisnya sebagai antisipasi sekaligus berusaha melepaskan diri agar tidak turut terjerat dalam intrik politik pemerintahan di masa Orba (Kang, 2003).
Dunfee dan Warren (2001) juga berpendapat bahwa penerapan Guanxi di Tiongkok hampir identik dengan korupsi. Perilaku suap Guanxi sering terjadi di antara manajer menengah dan senior baik dalam badan usaha milik negara maupun badan usaha swasta (Dunfee and Warren, 2001). Dari Desember 2012 hingga Oktober 2015, ada 4790 kasus yang berhubungan langsung dengan perilaku suap Guanxi, yang dimanifestasikan sebagai penerimaan uang atau hadiah secara ilegal dan 5305 kasus selanjutnya secara tidak langsung terkait dengan perilaku suap Guanxi karena perjamuan dengan biaya publik dan tambahan. Kemudian 8662 kasus terkait dengan mengadakan pernikahan mewah. Beberapa eksekutif perusahaan milik negara juga ditangkap karena korupsi dan penyuapan (Xinhua, 2015).
Penyimpangan berikutnya yakni adanya transaksi terhubung organisasi yang tidak teratur. Mengacu pada perilaku di mana, memanfaatkan kekuatan organisasi, anggota organisasi melanggar norma-norma organisasi, dan mematahkan prosedur organisasi, dengan dalih koneksi yang pada akhirnya mengarah pada keputusan serta hasil transaksi yang tidak adil. Penyimpangan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai perilaku jalan pintas Guanxi yang mengacu pada praktik perdagangan secara tidak adil. Seorang anggota organisasi melakukan pelanggaran terhadap norma-norma organisasi dengan memintas rutinitas dan prosedur rutin untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Anggota organisasi mengambil keuntungan dari posisi mereka sendiri, kekuatan atau informasi dan kemudian melakukan transaksi pribadi dengan memanfaatkan Guanxi untuk memperoleh keuntungan. Contoh umum adalah mengutamakan pemberdayaan atau bahkan pemberian hak istimewa keluarga, anak, cucu dari orang atau para pekerja internal perusahaan seperti mempermudah penerimaan kerja serta peningkatan jenjang karir yang cepat dalam bisnis tersebut tanpa memperhitungkan potensi yang dimiliki oleh calon pekerja lain yang bisa saja lebih baik. Kemudian adanya penyalahgunaan wewenang serta konspirasi penawaran palsu yang melibatkan internal organisasi.
Walaupun demikian, Guanxi pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan suap ataupun perilaku penyimpangan lainnya sebab lebih menekankan pada proses. Jika penggunaan Guanxi hanya demi memperoleh pamrih, maka itu bukan lagi sebuah praktik Guanxi yang baik dan bertentangan dengan Konfusianisme sebagai ajaran dasar dari budaya Guanxi. Konfusianisme tidak mengajarkan penganutnya untuk memperoleh kepentingan pribadi. Yang paling penting adalah keharmonisan dengan cara diraih melakukan tugas baik sesuai peranan masing-masing umat di masyarakat (Ming, 2005).
D. Kesimpulan
Pengusaha etnis Cina baik di negaranya maupun di perantauan secara umum menggunakan prinsip Guanxi yang diterapkan dalam bisnisnya. Guanxi memiliki arti koneksi atau suatu jaringan hubungan di antara bermacam-macam personal, kelompok, dan badan usaha yang saling bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Sehingga dengan adanya persatuan yang solid dan kuat tersebut menjadikan tingkat pendapatan perekonomian mereka sangat tinggi dan dapat menjadi kekuatan perekonomian di suatu negara di mana mereka tinggal. Prinsip Guanxi berdampingan 2 elemen budaya bisnis Tionghoa yang lain yaitu Xinyong yang berarti kepercayaan dan Ganqing yang berarti menjaga perasaan.
Contohnya di Indonesia saat era kependudukan Belanda, ada salah satu taipan Cina paling menonjol yaitu Oei Tiong Ham yang diakui sebagai pengusaha berkelas multinasional pertama di Asia Tenggara. Usaha dimilikinya berada di bawah naungan Oei Tiong Ham Concern (OTHC) yang memiliki cabang di Singapura, Malaysia, hingga Eropa dan Amerika Serikat bahkan terus berdiri hingga dinasionalisasi oleh orde lama. Melalui sistem manajemen profesional dikombinasikan dengan implementasi dari prinsip Guanxi yakni keluasan jaringan mulai dari perkenalan, pergaulannya yang sangat luas dengan berbagai pihak di penjuru dunia menjadikan usaha yang dimiliki Oei Tiong Ham berkembang pesat di masanya hingga berhasil meraih keuntungan bersih pada periode 1880–1904 sebesar 18 juta gulden.
Di masa sekarang kita mengenal salah satu jaringan bisnis Tionghoa bernama Grup Salim yang didirikan oleh Liem Sioe Liong alias Soedono Salim. Dalam bisnisnya, Liem juga menggunakan pendekatan prinsip Guanxi. Karir bisnisnya bermula sebagai tukang kredit di daerah Kudus bersama Tan Ho Tjung, rekan bisnisnya yang sama-sama berasal dari Futching (Fujian). Namun kini, Grup Salim menguasai beberapa perusahaan di berbagai bidang mulai dari makanan, perbankan, hingga telekomunikasi. Salah satu usahanya yaitu perbankan adalah Bank Central Asia yang didirikan bersama Mochtar Riady sebagai bank swasta di Indonesia yang berkembang sangat pesat hingga saat ini. Tercatat harga saham milik Grup Salim pada perdagangan di bulan Desember tahun 2019 menguat dan pemiliknya kembali tercatat masuk 10 besar orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan riset Majalah Forbes, putra sulungnya, Anthoni Salim, tercatat sebagai orang terkaya nomor enam di Indonesia dengan nilai kekayaan sebesar US$ 5,5 miliar yang setara Rp 76,99 triliun.
Walaupun implementasi Guanxi memberikan banyak keuntungan terhadap bisnis, namun dalam praktiknya tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai penyimpangan seperti nepotisme, suap, korupsi, penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, penerapan prinsip Guanxi tidak dapat berdiri sendiri secara murni dalam bisnis. Diperlukan kombinasi dengan sistem lain yang mendukung serta membawa kemajuan organisasi atau bisnis dengan baik seperti sistem profesionalitas ala Barat yang mengedepankan pragmatisme, profesionalisme, dan keputusan rasional tidak hanya berdasarkan pada kepercayaan atau hubungan kedekatan.
DAFTAR PUSTAKA
Borsuk, Richard. and Chng, Nancy. 2014. Liem Sioe Liong’s Salim Group : The Business Pillar of Suharto’s Indonesia. Singapura : ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) Publishing.
Deeje, dkk. 2008. 10 Orang Terkaya di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Timur.
Dunfee, T.W. and Warren, D.E. 2001. Is Guanxi Ethical? A Normative Analysis of Doing Business in China. Journal of Business Ethics. 32(3) : 191–204.
Kang, David C. 2003. Transaction Costs and Crony Capitalism in East Asia. Journal of Comparative Politics. 35(4) : 439–458.
Kurnia, Febri. 2016. Guanxi dalam Industri “Smartphone” Tiongkok. Diakses tanggal 7 Mei 2020, dari https://www.wartaekonomi.co.id/read86310/guanxi-dalam-industri-smartphone-tiongkok.
Ling, Liem Tjwan. 2013. Oei Tiong Ham — Raja Gula dari Semarang. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Ming, Tu Wei. 2005. Etika Konfusianisme. Jakarta : Teraju.
Saragih, Houtmand P. 2019. Anthoni Salim Terkaya ke-6 di RI, Saham Grup Salim Melesat. Diakses tanggal 10 Mei 2020, dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20191205124654-17-120571/anthoni-salim-terkaya-ke-6-di-ri-saham-grup-salim-melesat.
Seng, Ann Wan. 2007. Formula Bisnis Negara Cina — Kebangkitan Kembali Naga Asia. Jakarta : Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika).
Siregar, Soni Ersa dan Kencana Tirta Widya. 1988. Liem Sioe Liong dari Futching ke Mancanegara. Jakarta : Pustaka Merdeka.
Tjoe, Thomas Liem. 2007. Rahasia Sukses Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta : Medpress.
Wenchen Guo, Shaosheng Sun, Rong Dai. 2018. Guanxi Deviant Behaviour in the Chinese Cultural Context. Qualitative Research in Organizations and Management: An International Journal. 13(2) : 162–182.
Xinhua. 2015. 138.867 Officials Punished in 3-Year Frugality Campaign. Diakses tanggal 10 Mei 2020, http://www.china.org.cn/china/2015-12/03/content_37228383.htm.
Yu, Liang. 2012. Opini : Solidaritas Tionghoa , Guanxi & Xinyong. Diakses tanggal 7 Mei 2020, http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2117-opini--solidaritas-tionghoa--guanxi--xinyong.