oleh Lady Sion
Mulanya hari itu sungguh indah bagiku, hangatnya arunika Oktober lembut menyapa jiwa ragaku.
O iya ada satu hal yang sangat buatku bahagia,
“Tim jagoanku hari ini bertanding”
Yes… asyik… segera kutancapkan gas pada kuda besi kesayanganku.
Penuh semangat dari kampung halamanku, menuju Bumi Singhasari, tepatnya lapangan hijau Kanjuruhan.
Wah… skor sudah imbang 2 sama.
Lewat tiga perempat jam…
rupanya saat ini belum berpihak kepada kalian.
Tak apa, tetap semangat wahai singo jagoanku, kau tetap terbaik.
Aku ‘kan tetap mendukungmu, mendoakanmu.
Maaf aku pamit dulu ya,
sebab khawatir akan hujan deras yang kembali mendera.
Tetep tertib yo, jo kisruh, po neh anarkis.
Salam Satu Jiwa, Tetap Sportif !
Sampailah aku kembali di kampung halamanku,
di gubuk sederhanaku.
Hanya sekejap, aku menghilang dalam pekat malam, penuh kedamaian.
Namun…
Aku bingung mengapa kembali lagi?
Jelas kulihat para teruna terjun ke lapangan,
Ada yang menyemangati, menyalami, ada yang berinteraksi sebentar pada para pemain.
Mendadak terjadi kisruh…
ada hantaman berlanjut saling hantam.
Eh astaga, ‘Kepulan asap apa ini?’ gumamku yang masih termangu.
Panik mendera, kucoba tenang…
Sembari terdorong untuk lari bahkan kabur, sebab asak yang langsung mendera.
Tapi terhambat…
Mau kabur bagaimana ini?
Sial aku terjebak ! Sesak nafas mendera, dada semakin sakit, mata panas, seolah tak mampu kompromi.
Entah bagaimana aku lalu keluar begitu saja?
Saat tubuh seperti mau tumbang.
Masih jelas kudengar amarah, teriakan, tangisan.
Bahkan suara anak kecil dan perempuan…
‘Tolong… tolong… aduh ya Allah’
Para teruna bergelimpangan, bak terkena serangan nuklir.
Ada pintu bertuliskan 13, angka sial yang ternyata bukan hanya mitos.
Telah nampak bak kuburan massal.
Uhuk… uhuk… uhuk…
“Oh Tuhan tolong… Tuhan tolong jangan putus jantung ini dari ragaku!”
Sayup sayup kudengar burung kedasih seolah memanggilku,
Raga ini seperti terdorong ke arah suara itu, dengan sisa suara, aku ingin teriak
“Nggak… jangan… jangan… ku mau hidup lebih lama tuk perbaiki diri”
Antara sadar dan tidak,
Kulihat secercah kirana,
menarikku ke dalamnya…
Apa sih yang barusan terjadi?
Masih dalam kegamangan,
aku bergegas dari peraduanku, untuk aktivitas hari ini.
Siap-siap mau ibadah.
O ya aku turunkan Sang Saka Merah Putih dulu.
Betapa mengejutkan dan urung niat kuturunkan, sebab terdengar berita di televisi,
127 orang supporter Arema tewas…
Ada pula seorang ibu berteriak histeris dan menangis “Anakku cuman nonton bal-balan, mulih ilang nyawa”
Kembali kukibarkan hanya setengah tiang.
Astaga…
Teringat orang-orang yang duduk di kanan kiriku, depan belakangku.
Bagaimana mereka? Pulang kah mereka ke rumahnya? Atau…
Hah telah berpulang ke alam baka?!
Batinku masih terderai,
mengapa lagi-lagi ini terjadi?
Tragedi itu, tepat di Hari Kesaktian Pancasila
Terlintas dalam benak sila ke 2 ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’
Adil?
Apakah tragedi itu sebagai tonggak kami memperjuangkan keadilan mereka?
Atau akan tetap sebagai cermin ketidakadilan yang selalu ada?
Beradab? Atau biadab?
Melihat ada pula kebiadaban lagi-lagi jadi sebab tumbangnya nyawa ratusan manusia.
Tanggal cantik, awal bulan,
Mengawali duka kita semua
Sejak itu semua tak lagi sama…
Redum tak lelah menghiasi, hujan mengguyur seakan mengerti perasaan kami.
Ada banyak kehilangan.
Kehilangan tulang punggung, kehilangan pasangan hidup, kehilangan orang tua terkasih, kehilangan anak tercinta, kehilangan saudara dan sahabat sepenanggungan, kehilangan ladang penghidupan.
Kehilangan harapan…
Orang tua dari para korban mungkin akan antipati pada sepak bola.
Mereka yang selamat, ditinggalkan, dan kita yang turut menonton dihantui trauma pada pertandingan olahraga.
Menyisakan amarah, masygul, jeritan pilu tak terucap.
Tiada pertandingan sepakbola, yang sebanding dengan sebuah nyawa.
“Mereka” masih di sana…
Masih kulihat keresahan dan gejolak “mereka”…
Pulanglah dengan tenang wahai nawak-nawak Aremania.
Kanjuruhan terlalu memilukan bagi “kalian”, jika masih berlama-lama di situ.
Kami di sini gotong royong menolong keluarga “kalian”.
Sembari doa kami lantunkan.
Investigasi tetap berjalan, penyelesaian terus diupayakan.
Jangan putus asa.
Harapan kan selalu ada.
Ini bukan akhir dari segalanya.
Jangan ada lagi pertikaian, kita sportif, kita bisa.
Jadikan olahraga ajang untuk memupuk persaudaraan, kebersamaan, kebugaran, dan sportivitas.
Bukan hanya ambisi kemenangan semata.
Satu Oktober Dua Ribu Dua Puluh Dua
Tanggal cantik, awal bulan, namun kelam…
Cukuplah sebagai peringatan.
ditulis kala duka mendalam atas Tragedi Kanjuruhan 01–10–2022 yang menewaskan 131 orang.